Kamis, 02 Mei 2013

SARASEHAN “PEMUDA BALI BERSUARA UNTUK KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIA”


Senin, 29 April 2013 sekitar jam 2 sore, Wantilan Gedung DPRD Provinsi Bali dipadati oleh ratusan pelajar SMP, SMA, Mahasiswa dari seluruh Bali. Tampak juga hadir beberapa tokoh, seperti Dr. Shri  I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III (President The Sukarno Centre), Br. Indra Udayana (Pengasuh Ashram Gandi Puri), dr. Wayan Sayoga (Ketua Yayasan Anand Ashram).  Semuanya berkumpul untuk  satu tujuan, yakni menyuarakan tegaknya keadilan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, dimulai dari Bali.
Sarasehan “Pemuda Bali Bersuara untuk Keadilan dan HAM” yang digagas oleh Aliansi Pemuda Bali untuk Indonsia Jaya ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan beberapa pemuda Bali melihat maraknya fenomena kekerasan, ketidakadilan hukum di Indonesia sebagai sebuah negara hukum, serta merajalelanya pelanggaran HAM.  Ketua Panitia, I Gede Landep meyampaikan, “Tujuan kami adalah untuk memberikan satu contoh, kami berani bersuara, kami berani melakukan sesuatu, dalam artian kami tidak pasrah! Kami yakin kami mampu untuk melawan ketidakadilan di negeri ini.”
Acara yang berlangsung selama 3 jam ini menghadirkan Haris Azhar dari KONTRAS dan Inayah Wahid, koordinator  gerakan pemuda “Positive Movement”. Sebagai keynote speaker, Dr. Shri  I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III.

Dr. Wedakarna mengawali sambutannya dengan 3 kali pekikan MERDEKA! yang diikuti dengan penuh semangat oleh hadirin. Dalam sambutannya, ia mengingatkan kembali bahwa hampir semua bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, didirikan dan diinisiatifkan oleh anak-anak muda. “Bangsa Indonesia penuh dengan jiwa-jiwa muda. Namun setelah zaman reformasi, orang muda kehilangan tauladan.. Banyak orang menganggap gerakan kepemudaan adalah gerakan sampingan, bukan sebuah inti dari perjuangan bangsa. Di zama reformasi kita telah kehilang jati diri. Satu-satunya harapan dari Indonesia hanya ada di Pulau Bali karena Bali adalah api dari Pancasila. Di Bali tidak ada kerusuhan berbau sara, tidak ada gerakan intoleransi, jadi secara de facto anak-anak muda Bali adalah anak-anak ideology Pancasila!” tegasnya.
Menghadapi berbagai fenomena kekerasan, terutama yang membawa nama agama, berbagai kasus pelanggaran HAM, Dr. Wedakarna menegaskan kepada seluruh pemuda Bali agara menjadi orang yang pemberani dan percaya diri. Karena jiwa puputan itu mengalir dalam darah setiap orang Bali. “Di Indonesia tidak ada mayoritas, minoritas. Yang membedakan adalah ada orang berani dan ada orang yang tidak berani. Ada safety player, ada ksatria yang gagah berani,” lanjutnya. Ia menyayangkan begitu banyak tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh ashram yang menjadi safety player, yang hanya ingin mencari selamat, “Tidak ada tokoh seperti Bapak Anand Krishna yang berjuang dengan mati-matian.” Pria kelahiran 23 Agustus 1980 pada kesempatan ini juga memberikan dukungan kepada Anand Ashram dan juga National Integration Movement (NIM) dan seluruh jaringan yang ada, bahwa rakyat Bali, umat Hindu Indonesia selalu berada di belakang perjuangan Bapak Anand Krishna. Walaupun kini Bapak Anand Krishna sedang di penjara, namun jiwanya tetap merdeka. Dan jiwa merdeka ini, terutama pada anak-anak muda, harus terus bergerak, bergotong royong, berani bersuara, menyuaraka kebenaran, karena negara Indonesia ini sudah di ambang kehancuran.
Haris Azhar, Ketua Badan Pekerja KONTRAS, menyampaikan dalam 2 tahun terakhir telah terjadi lebih dari 3200 kasus kekerasan di Indonesia. Namun hampir dari semua kasus tersebut tidak dibongkar atau pun diselesaikan secara tuntas. Adapun yang dibongkar dan dianggap selesai, namun tak satu pun yang memberikan keadilan kepada korban.
 Menurutnya, ada berbagai perasaan yang terlibat dalam tindak kekerasan, yang pertama mungkin kita bagian dari kekerasan itu; kedua, mungkin kita setuju, tapi tidak berani melakukan kekerasan;, ketiga, kita tidak setuju, tapi juga tidak berani mengintervensi atau melakukan sesuatu untuk mencegah kekerasan terjadi; keempat, kita menolak atau tidak setuju dan juga berani mengatakan tidak pada kekerasan. Namun, dari 1 -4 tetaplah memproduksi kekerasan. Kekerasan sudah menyasar siapa pun dan bisa dilakukan oleh siapapun.
Ada berbagai macam bentuk tindak kekerasan, termasuk kekerasan simbolik yang mampu menyerang integritas diri seseorang. Ia khawatir kekerasan sudah menjadi budaya di Indonesia. Azhar melihat Bali bisa menjadi inspirasi atau contoh bagi masyarakat Indonesia bagaimana cara meghormati perbedaan sehingga tidak terjadi kekerasan. Dalam melawan kekerasan, tidak melulu harus dari ranah politik, namun bisa dari level budaya, perkawanan. Tak heran Soekarno muda mampu memerdekakan Indonesia. Karena anak muda bisa mengobrol secara informal, bisa memecah kebuntuan, punya keasyikan, segala sesuatu tidak harus diukur dengan kekuasaan dan uang. “Kita tidak pernah tahu seberapa efektif langkah yang kita ambil untuk bisa menghentikan kekerasan, namun saya berharap teman-teman muda Bali disini bisa menjadi tokoh anti kekerasan, tidak hanya di Bali, tapi juga di Indonesia,” tutup Haris Azhar dalam pemaparannya.
Inayah Wahid membuka sesinya dengan sebuah permainan yang membuat hadirin dapat saling berkenalan satu sama lain. Putri bungsu Presiden RI ke-4, K.H. Abudurrahman Wahid ini juga bercerita kisah hidupnya sejak kecil yang sering mengalami kekerasan dengan bullying hingga terror yang sering diterimanya saat ayahnya menjadi presiden. Hal seperti ini sungguhlah menyakitkan. Namun banyak orang yang hanya diam karena tidak mengalaminya dan merasa bukan urusannya. Inayah mengingatkan, tanggung jawab kitalah sebagai anak muda untuk memutus kekerasan ini agar tidak terus ber-reproduksi. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri. “Tidak perlu menunggu terjadinya perubahan, namun perubahan diciptakan dimana Anda berdiri saat ini, ketika Anda bergerak, bersuara untuk memutuskan dan menghentikan kekerasan. Jangan bergerak dengan kemarahan karena Anda akan jadi membabi buta, apa bedanya dengan mereka yang melakukan kekerasan? Bukan balas dendam, tapi ketika anda sudah mulai bergerak, bersandarlah pada kebebasan. Bebaskanlah diri Anda dari kekerasan. Karena hanya orang yang bebas yang mampu membebaskan orang lain.”
Acara sarasehan semakin hangat, dengan pemutaran video “Last Man Standing” yang menceritakan kronologis berbagai kekerasan yang dilakukan pihak-pihak yang ingin membungkam pemikiran dan suara Bapak Anand Krishna akan nilai-nilai cinta kasih, perdamaian dan keharmonisan, sejak awal tahun 2000 hingga tahun 2013. Ber-refleksi dari tayangan video ini, sangat tepat pesan Soekarno yang dikutip oleh Dr. Wedakarna, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Dalam Sarasehan ini juga telah dideklarasikan “International Interfaith Youth Forum” dan penandatanganan “Resolusi Indonesia Jaya” oleh seluruh peserta sarasehan, para narasumber, dan para tokoh. Sarasehan semakin meriah dengan persembahan sebuah tari dari Ashram Gandhi Puri dan lagu-lagu dari tim musik Aliansi Pemuda Bali Dvipa untuk Indonesia Jaya berjudul “Sekuat Rajawali” dan “Bangkitlah Wahai Satria!”

*Report by: Mirah, Krishna & Fera
Pic by Gede Diarta
Posted by Raysuvana