Senin, 29 April
2013 sekitar jam 2 sore, Wantilan Gedung DPRD Provinsi Bali dipadati oleh
ratusan pelajar SMP, SMA, Mahasiswa dari seluruh Bali. Tampak juga hadir beberapa
tokoh, seperti Dr. Shri I Gusti Ngurah
Arya Wedakarna MWS III (President The Sukarno Centre), Br. Indra Udayana
(Pengasuh Ashram Gandi Puri), dr. Wayan Sayoga (Ketua Yayasan Anand Ashram). Semuanya berkumpul untuk satu tujuan, yakni menyuarakan tegaknya
keadilan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, dimulai dari Bali.
Sarasehan “Pemuda
Bali Bersuara untuk Keadilan dan HAM” yang digagas oleh Aliansi Pemuda Bali
untuk Indonsia Jaya ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan beberapa pemuda Bali
melihat maraknya fenomena kekerasan, ketidakadilan hukum di Indonesia sebagai
sebuah negara hukum, serta merajalelanya pelanggaran HAM. Ketua Panitia, I Gede Landep meyampaikan, “Tujuan
kami adalah untuk memberikan satu contoh, kami berani bersuara, kami berani
melakukan sesuatu, dalam artian kami tidak pasrah! Kami yakin kami mampu untuk
melawan ketidakadilan di negeri ini.”
Acara yang
berlangsung selama 3 jam ini menghadirkan Haris Azhar dari KONTRAS dan Inayah Wahid,
koordinator gerakan pemuda “Positive
Movement”. Sebagai keynote speaker, Dr.
Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS
III.
Dr. Wedakarna
mengawali sambutannya dengan 3 kali pekikan MERDEKA! yang diikuti dengan penuh
semangat oleh hadirin. Dalam sambutannya, ia mengingatkan kembali bahwa hampir
semua bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, didirikan dan diinisiatifkan
oleh anak-anak muda. “Bangsa Indonesia penuh dengan jiwa-jiwa muda. Namun
setelah zaman reformasi, orang muda kehilangan tauladan.. Banyak orang
menganggap gerakan kepemudaan adalah gerakan sampingan, bukan sebuah inti dari
perjuangan bangsa. Di zama reformasi kita telah kehilang jati diri.
Satu-satunya harapan dari Indonesia hanya ada di Pulau Bali karena Bali adalah
api dari Pancasila. Di Bali tidak ada kerusuhan berbau sara, tidak ada gerakan
intoleransi, jadi secara de facto anak-anak muda Bali adalah anak-anak ideology
Pancasila!” tegasnya.
Menghadapi
berbagai fenomena kekerasan, terutama yang membawa nama agama, berbagai kasus
pelanggaran HAM, Dr. Wedakarna menegaskan kepada seluruh pemuda Bali agara
menjadi orang yang pemberani dan percaya diri. Karena jiwa puputan itu mengalir dalam darah setiap orang Bali. “Di Indonesia
tidak ada mayoritas, minoritas. Yang membedakan adalah ada orang berani dan ada
orang yang tidak berani. Ada safety player,
ada ksatria yang gagah berani,” lanjutnya. Ia menyayangkan begitu banyak
tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh ashram yang menjadi safety player, yang hanya ingin mencari selamat, “Tidak ada tokoh
seperti Bapak Anand Krishna yang berjuang dengan mati-matian.” Pria kelahiran
23 Agustus 1980 pada kesempatan ini juga memberikan dukungan kepada Anand
Ashram dan juga National Integration Movement (NIM) dan seluruh jaringan yang
ada, bahwa rakyat Bali, umat Hindu Indonesia selalu berada di belakang
perjuangan Bapak Anand Krishna. Walaupun kini Bapak Anand Krishna sedang di
penjara, namun jiwanya tetap merdeka. Dan jiwa merdeka ini, terutama pada
anak-anak muda, harus terus bergerak, bergotong royong, berani bersuara,
menyuaraka kebenaran, karena negara Indonesia ini sudah di ambang kehancuran.
Haris Azhar,
Ketua Badan Pekerja KONTRAS, menyampaikan dalam 2 tahun terakhir telah terjadi
lebih dari 3200 kasus kekerasan di Indonesia. Namun hampir dari semua kasus
tersebut tidak dibongkar atau pun diselesaikan secara tuntas. Adapun yang
dibongkar dan dianggap selesai, namun tak satu pun yang memberikan keadilan
kepada korban.
Menurutnya, ada berbagai perasaan yang
terlibat dalam tindak kekerasan, yang pertama mungkin kita bagian dari
kekerasan itu; kedua, mungkin kita setuju, tapi tidak berani melakukan
kekerasan;, ketiga, kita tidak setuju, tapi juga tidak berani mengintervensi
atau melakukan sesuatu untuk mencegah kekerasan terjadi; keempat, kita menolak
atau tidak setuju dan juga berani mengatakan tidak pada kekerasan. Namun, dari
1 -4 tetaplah memproduksi kekerasan. Kekerasan sudah menyasar siapa pun dan bisa
dilakukan oleh siapapun.
Ada berbagai
macam bentuk tindak kekerasan, termasuk kekerasan simbolik yang mampu menyerang
integritas diri seseorang. Ia khawatir kekerasan sudah menjadi budaya di
Indonesia. Azhar melihat Bali bisa menjadi inspirasi atau contoh bagi masyarakat
Indonesia bagaimana cara meghormati perbedaan sehingga tidak terjadi kekerasan.
Dalam melawan kekerasan, tidak melulu harus dari ranah politik, namun bisa dari
level budaya, perkawanan. Tak heran Soekarno muda mampu memerdekakan Indonesia.
Karena anak muda bisa mengobrol secara informal, bisa memecah kebuntuan, punya
keasyikan, segala sesuatu tidak harus diukur dengan kekuasaan dan uang. “Kita
tidak pernah tahu seberapa efektif langkah yang kita ambil untuk bisa
menghentikan kekerasan, namun saya berharap teman-teman muda Bali disini bisa
menjadi tokoh anti kekerasan, tidak hanya di Bali, tapi juga di Indonesia,”
tutup Haris Azhar dalam pemaparannya.
Inayah Wahid
membuka sesinya dengan sebuah permainan yang membuat hadirin dapat saling
berkenalan satu sama lain. Putri bungsu Presiden RI ke-4, K.H. Abudurrahman
Wahid ini juga bercerita kisah hidupnya sejak kecil yang sering mengalami
kekerasan dengan bullying hingga terror
yang sering diterimanya saat ayahnya menjadi presiden. Hal seperti ini
sungguhlah menyakitkan. Namun banyak orang yang hanya diam karena tidak
mengalaminya dan merasa bukan urusannya. Inayah mengingatkan, tanggung jawab
kitalah sebagai anak muda untuk memutus kekerasan ini agar tidak terus
ber-reproduksi. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri. “Tidak perlu menunggu
terjadinya perubahan, namun perubahan diciptakan dimana Anda berdiri saat ini,
ketika Anda bergerak, bersuara untuk memutuskan dan menghentikan kekerasan.
Jangan bergerak dengan kemarahan karena Anda akan jadi membabi buta, apa
bedanya dengan mereka yang melakukan kekerasan? Bukan balas dendam, tapi ketika
anda sudah mulai bergerak, bersandarlah pada kebebasan. Bebaskanlah diri Anda
dari kekerasan. Karena hanya orang yang bebas yang mampu membebaskan orang
lain.”
Acara sarasehan semakin
hangat, dengan pemutaran video “Last Man Standing” yang menceritakan kronologis
berbagai kekerasan yang dilakukan pihak-pihak yang ingin membungkam pemikiran
dan suara Bapak Anand Krishna akan nilai-nilai cinta kasih, perdamaian dan
keharmonisan, sejak awal tahun 2000 hingga tahun 2013. Ber-refleksi dari
tayangan video ini, sangat tepat pesan Soekarno yang dikutip oleh Dr. Wedakarna,
“Perjuanganku lebih mudah karena
mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu
sendiri.”
Dalam Sarasehan ini juga telah
dideklarasikan “International Interfaith
Youth Forum” dan penandatanganan “Resolusi Indonesia Jaya” oleh seluruh
peserta sarasehan, para narasumber, dan para tokoh. Sarasehan semakin meriah
dengan persembahan sebuah tari dari Ashram Gandhi Puri dan lagu-lagu dari tim
musik Aliansi Pemuda Bali Dvipa untuk Indonesia Jaya berjudul “Sekuat Rajawali”
dan “Bangkitlah Wahai Satria!”
*Report by: Mirah, Krishna & Fera
Pic by Gede Diarta
Posted by Raysuvana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar